Terletak di lereng perbukitan Imogiri, Bantul,
Yogyakarta, Makam Imogiri seolah menegaskan status sosial dan politik
orang-orang yang dikuburkan di tempat ini. Ya, bukit dengan + 409 tangga
ini memang dikhususkan untuk makam raja dan kerabat Kerajaan Mataram Islam
serta keturunannya. Bagi masyarakat Jawa, gunung atau bukit menyimbolkan status
yang tinggi sekaligus merupakan upaya mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa.
Mengunjungi Makam Imogiri, wisatawan dapat
merasakan langsung atmosfir magis dari tempat yang dikeramatkan oleh sebagian
besar masyarakat Jawa ini. Aroma kembang dan dupa menyeruak di sekitar makam,
karena hampir setiap hari para abdi dalem keraton meletakkan sesajen khusus di
makam raja-raja. Bahkan, menurut keterangan salah seorang juru kunci, makam
Sultan Agung hingga kini selalu harum semerbak karena beliau dianggap telah
mencapai tingkatan waliyullah (kekasih
Allah).
Selain makam Sultan Agung, di tempat ini juga
dimakamkan 23 raja keturunan Sultan Agung, termasuk dari dinasti Kasunanan
Surakarta maupun Kesultanan Yogyakarta. Makam raja-raja ini terbagi ke dalam
delapan kelompok, yaitu: Kasultanan Agungan (makam Sultan Agung, permaisuri,
Hamangkurat Amral, dan Hamangkurat Mas); Paku Buwanan (makam PB I, Hamangkurat
Jawi, dan PB II); Kasuwargan Yogyakarta (makam HB I dan HB III); Besiyaran
Yogyakarta (makam HB IV, HB V, dan HB VI); Saptorenggo Yogyakarta (HB VII, HB
VIII, dan HB IX); Kasuwargan Surakarta (makam PB III, PB IV, dan PB V);
Kapingsangan Surakarta (makam PB VI, PB VII, PB VIII, dan PB IX); Girimulya
Surakarta (makam PB X, PB XI, dan PB XII).
Secara umum denah atau susunan makam raja-raja ini
menyerupai segitiga. Pada bagian atas terdapat makam Sultan Agung, di sisi
timur terdapat makam Raja-raja Kesultanan Yogyakarta, dan di sisi barat
terdapat makam Raja-Raja Kasunanan Yogyakarta. Pemisahan makam raja-raja
keturunan Sultan Agung merupakan imbas dari perlawanan yang dilakukan oleh
Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I) terhadap kakaknya, Paku Buwono II.
Akibat perang tersebut, muncul Perjanjian Giyanti (tahun 1755 M) yang
memisahkan Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta.
Karena makam ini dikeramatkan, maka tidak sembarang
orang boleh memasuki kompleks makam. Ada beberapa persyaratan khusus yang harus
dipenuhi peziarah, antara lain dilarang mengenakan alas kaki, mengenakan
perhiasan (terutama emas), membawa kamera, serta harus berpakaian khas Jawa
(peranakan). Untuk peziarah laki-laki mengenakan blankon, beskap, kain, sabuk,
timang, dan samir, sementara untuk perempuan memakai kemben dan kain panjang.
Selain itu, secara umum di area makam dan hutan di sekitar makam, para
pengunjung dilarang berbuat tidak sopan, berburu, memotong pohon, mengambil
kayu, serta mencabut atau merusak tanaman yang ada.
Selain berziarah, para pelancong juga dapat
menyaksikan empat gentong (padhasan) yang merupakan persembahan kerajaan-kerajaan sahabat kepada Sultan Agung.
Gentong-gentong itu diberi nama Nyai Siyem (dari Siam), Kyai Mendung (dari
Rum/Turki), Kyai Danumaya (dari Aceh), serta Nyai Danumurti (dari Palembang).
Air di dalam gentong tersebut konon memiliki khasiat tertentu, baik untuk
kesehatan, penyembuhan, ataupun kesuksesan. Oleh sebab itu, banyak peziarah
yang meminum air tersebut atau membawanya pulang.
Apabila berminat mengunjungi makam ini pada malam
hari, maka datanglah pada malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Pada
malam-malam tersebut, banyak peziarah yang melakukan ritual doa di sekitar
makam, terutama pada saat tengah malam. Para peziarah ini datang dengan
berbagai macam tujuan, seperti berdoa untuk kelancaran rezeki, kesuksesan
karir, atau menambah ilmu kanuragan.







0 komentar:
Posting Komentar